Kamis, 22 Maret 2012

TEORI INTERAKSI SIMBOLIK (Sospen)


“Teori Interaksi Simbolik”
Menjamurnya Bahasa Alay di Kalangan Anak Muda
            Dari tahun ke tahun yang namanya anak muda selalu memiliki style sendiri-sendiri. Misalnya, tahun 2000 anak muda lebih bergaya millenium dan berbicara dengan bahasa yang formal. Hal itu dapat terjadi karena  adanya interaksi simbolik. Lalu apa yang dinamakan interaksi simbolik?. Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.Menurut KJ Veeger[5] yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme simbolik memiliki beberapa gagasan. Di antaranya adalah mengenai Konsep Diri. Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu saat mereka berinteraksi.Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis pada posisi yang sangat jelas, dengan implikasi yang cukup dalam.  Mengikuti penjelasan Abraham (1982)[7], Charles Horton Cooley adalah tokoh yang amat penting dalam teori ini. Pemikiran sosial Cooley terdiri atas dua asumsi yang mendalam dan abadi mengenai hakikat dari kehidupan sosial, yaitu bahwa kehidupan sosial secara fundamental merupakan sebuah evolusi organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat demokratis, moral, dan progresif. Konsep evolusi organik-nya Cooley berbeda secara hakiki dari konsepnya Spencer dan para ilmuwan sosial abad kesembilan belas.Setiap interaksi manusia selalu dipenuhi dengan simbol-simbol, baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan diri sendiri. Diri tidak terkungkung melainkan bersifat sosial. Orang lain adalah refleksi untuk melihat diri sendiri. Dari penjelasan ini berarti bahwa teori interaksi simbolik merupakan perspektif yang memperlakukan individu sebagai diri sendiri sekaligus diri sosial. Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).
            Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis” (Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.
            Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.
            Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.
Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:
(1) Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain,
(2) Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya, dan
(3) Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.”Mind, Self and Society” merupakan karya George Harbert Mead yang paling terkenal (Mead. 1934 dalam West-Turner. 2008: 96), dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik.
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
2. Pentingnya konsep mengenai diri,
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer (1969) dalam West-Turner (2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:
1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka,
2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,
3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.
Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 101), antara lain:
1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,
2. Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.
Kasus  Aktualnya.
            Teori interaksi simbolik akan lebih mempermudah dalam memahami apa sih yang anak muda banggakan dengan memakai bahasa alay. Bahasa yang menggunakan ejaan dan pengucapan yang tidak sewajarnya seperti bahasa kita sehari-hari. Bahasa alay adalah sebutan bagi bahasa anak muda yang alay atau anak muda yang sering disebut lebay. Misalnya, loe-gue end artinya kamu dan aku sudah selesai. Hal ini, akan mempengaruhi kita untuk mengetahui lebih lanjut tentang interaksi pergaulan mereka yang menggunakan bahasa yang lebay itu. Menurut teori interaksi simbolik kecenderungan anak muda memakai bahasa alay adalah mereka merasa dihargai dan lebih menonjol dengan sebutan anak gaul jika mereka memakai bahasa alay. Bahasa yang sering tidak dimengerti oleh orang lain khususnya orang tua akan lebih membuat mereka mudah berinteraksi dan mencurahkan isi hati mereka kepada teman sebaya karena orang yang lebih tua belum tentu akan mengerti. Maka dari itu, mereka akan bangga dengan bahasa mereka yang menurut mereka sering membuat orang lain terheran-heran akan kelebihan mereka memakai bahasa alay dan itu akan berdampak bagaimana orang lain menilai mereka sebagai sosok yang memiliki pergaulan luas sebagai makhluk sosial. Apalagi, remaja masa kini sering kali ingin diakui keberadaannya dan ini loh aku ada didekat kalian ibarat katanya seperti itu. Menjamurnya bahasa alay adalah makna bahwa anak sekarang itu ingin lebay agar mereka diperhatikan. Penghargaan yang diberikan kepada pengguna bahasa alay dengan sebutan gaul adalah penghargaan diri menjadi sosok yang “wah” atu hebat.
            Akan tetapi, sekarang pergeseran tentang penghargaan bahwa anak alay sebagai anak gaul membuat komunitas anak alay ini menjadi suatu komunitas yang akan memberi dampak sosial kemasyarakatan bagi masyarakat yang hidup dilingkungannya. Bahasa alay sekarang malah diidentikan bahasa yang tidak efektif dan cenderung susah dipahami. Sehingga, sekarang ini anak alay dimaknai sebagai sosok yang kurang dapat memakai bahasa yang baik dan benar. Padahal, bahasa alay adalah ciri khas dari anak yang gaul sekarang sudah bergeser pada perilaku kurang menghargai bahasa indonesia dan cenderung pergaulan yang berlebihan(bahasa yang hiperbola). Karena bahasa alay adalah bahasa yang hiperbola(lebay) malah dipandang masyarakat sebagai bahasa yang kurang sopan dan memiliki efek negatif bagi perilaku anak. Tetapi, disisi lain yaitu anak muda tetap menganggap bahasa alay sebagai bahasa gaul.

                                                DAFTAR PUSTAKA
Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar Maju.
Kam. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 – Cetakan 1.Jakarta: Balai Pustaka.
Terjemahan edisi Indonesia 1 (Chapter 1-9), dan edisi Indonesia 2 (Chapter 10-16).
Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia
Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.
SUMBER INTERNET:
Fitraza, Vicky. 2008. Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory). Psychopreneurship – blog kumpulan teori psikologi. Melalui http://psynetpreneur.blogspot.com/2008/08/teori-interaksi-simbolis-symbolic.html [08/09/2008]
Hendariningrum, Retno dan Dewi Novianti. 2009. Bab 5: Interaksi Sosial.
Pengantar sosiologi. Melalui http://pengantar-sosiologi.blogspot.Com/2009/04/bab-5-interaksi-sosial.html [04/13/2009]
Soeprapto, Riyadi. 2007. Teori Interaksi Simbolik. Averroes Community – Membangun Wacana Kritis Rakyat. Melalui http://www.averroes.or.id/research/teori-interaksionisme-simbolik .html [12/12/2007]
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2007. Teori Interaksionisme Simbolik. Melalui http://indiwan.blogspot.com/2007/08/teori-interaksionisme-
simbolik.html [08/15/2007]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar